Geruduk DPRD NTT, PSK Minta Walikota Urus Air Minum Ketimbang Air Mani

FPR ketika melakukan demonstrasi di kantor DPRD NTT/Foto Nyongki Malelak

Kupang, Savanaparadise.com,- Puluhan Wanita Pekerja Seksual KOmersial (PSK) Lokalisasi karang dempel Tenau Kupang mendatangi kantor DPRD NTT, Senin, 10/12/18. Kedatangan para PSK ini akibat kebijakan Walikota Kupang mengeluarkan pengumuman bahwa Lokalisasi Karang Dempel akan ditutup tanggal 1 Januari 2019.

Puluhan PSK ini tak hanya datang sendiri. Mereka didampingi oleh bebrapa organisasi mahasiswa yang tergabung Front Perjuangan Rakyat (FPR) NTT.

Bacaan Lainnya

Koordinator FPR,  Ino Naitio mengatakan penutupan Karang Dempel harus dikaji ulang. Hal itu kata dia bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut dia penutupan lokalisasi karang dempel bukan merupakan sebuah hal yang urgen bagi masyarakat kota Kupang.

“ Masih banyak hal yang harus diurus oleh pemerintah Kota Kupang untuk kesejahteraan rakyat. hari ini kita memperingati HAM, tapi sayangnya Hak dari PSK diabaikan”, ujar Ino.

Ia meminta pemerintah kota kupang untuk lebih konsen mengurus program kerja yang lebih menyentuh kepentingan masyarakat ketimbang menyasar warga dempel.

“Kami minta pemerintah urus dulu air minum, jangan sibuk dengan air mani”, tegas Ino.

Ino meminta Jefri Riwu Kore tidak berlindung dengan alasan penutupan KD merupakan perintah pemerintah pusat. Bagi dia alasan itu tidak berbasis perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

Dia menilai pemerintah terlalu ego dan memaksakan kehendak hanya karena alasan kebijakan pemerintah pusat.

Dia meminta pemerintah Kota Kupang membatalkan rencana penutupan KD karena menurutnya akan menimbulkan berbagai masalah sosial.

“Kita harus bersyukur dengan adanya KD, para PSK bisa dikumpulkan sehingga bisa terkontrol”, pungkasnya.

Di tempat yang sama, Koordinator OPSI, Adelia menyayangkan sikap pemerintah yang mengesampingkan Hak para penjual jasa.

“Hari ini hari HAM, kami pekerja seks juga punya hak, kembalikan Hak kami”, pinta Adelia. Dia mengatakan pihaknya terpaksa bekerja menjual jasa untuk menghidupi keluarga.

“Kami terpaksa ‘nakal’ untuk makan, bukan untuk kaya, jika pemerintah menutup lokasi kerja kami lebih baik bunuh kami”, ungkapnya (SP

Pos terkait