Membongkar Mentalitas Pencurian Dibalik Pulau Savana

Oleh : YOHANES W. HAWULA
Aktivis GmnI Kupang, Pemerhati Masalah Sosial

Akhir-akhir ini arus kejahatan pencurian ternak di pulau Sumba semakin tak mampu dibendung lagi. Pencurian sudah menjamur dan menjalar ke seluruh kabupaten di daerah ini. Keluhan masyarakat pun semakin tinggi karena setiap malam masyarakat tidak bisa tidur nyaman untuk menjaga ternak peliharaannya masing-masing. Kebiasaan mencuri dari tahun ke tahun kian marak menggurita bahkan dengan modus operandi baru, sehingga sulit terdeteksi oleh pemilik ternak. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sekarang mulai muncul bisnis ilegal yang beraktifitas di daerah ini. Bisnis ini berbebentuk ‘pasar leis malam’ dimana daging ternak diperjualbelikan. Indikasinya jelas bahwa ternak hasil curian tersebut diperjual belikan lewat ‘pasar liar’ ini.

Melirik aktifitas pencurian yang semakin menggurita ini, saya berani mengatakan bahwa inilah kondisi riil yang terjadi dan tak bisa dibantah lagi.Suatu bentuk keresahan sosial yang sangat laten dan mengusik ketenangan masyarakat setempat. Fenomena ini menjadi penting dibicarakan secara serius karena mentalitas segelintir orang di pulau Sumba ini tidak hanya menjadi rutinitas musiman, tetapi lebih berbahaya karena sudah menjadi habitus sosial yang mengenaskan. Mencuri tidak lagi mencerminkan kondisi ekonomi yang kronis tetapi sudah mendarah daging dari generasi ke generasi. Akibatnya jelas bahwa salah satu stigma negatif daerah pencuri melekat erat dengan pulau Sumba. Sebagai orang Sumba, saya merasa tidak perlu menutup-nutupi masalah ini tetapi sebaliknya penting didiskusikan di forum publik ini agar dapat menemukan solusi yang benar dan tepat.

Pencurian di daerah ini sudah menjadi kebiasaan buruk bahkan bisa dijadikan budaya ketika aparatus setempat tak ada yang mampu menghentikan kebiasaan ini. Semua pihak berwenang sepertinya sedang tidur nyenyak sehinga tak ada cara baru dalam melumpuhkan kebiasaan ini. Di samping menggambarkan adanya sistem sosial yang retak, fenomena ini juga memantulkan cermin ketidakberdayaan pemerintah setempat untuk peka terhadap realitas sosial dan lemah dalam tindakan pencegahan. Setiap tahun, apalagi ketika masuk pada bulan krisis hampir dipastikan kegiatan mencuri kian hari kian meningkat. Secara umum goresan ini saya buat berdasarkan hasil wawancara dan telah menyaksikan langsung bagaimana masyarakat yang menjadi korban pencurian tersebut.

Realitas ini akhirnya menjadi masalah sosial yang pantas untuk dilayangkan beberapa pertanyaan sangsi. Apa yang menyebabkan pencurian semakin meningkat? Mengapa tidak bisa dihilangkan? Apa dampak bagi hubungan sosial masyarakat di pulau Sumba. Menarik, karena mengangkat kasus ini dapat menjadi masukan yang konstrukstif bagi elemen sosial seperti masyarkat, tokoh agama, aparat keamanan dan pemerintah setempat. Di sini juga kita dapat membongkar rahasia pencurian serta kelemahan dari pemerintah daerah dan pihak keamanan yang berada di pulau Sumba.

Akar persoalan

Berbicara beberapa kasus pencurian di Sumba memang menarik karena jika dikaji dimana tipikal pencurian yang tidak hanya tradisional tetapi sangat tersistematis, profesional bahkan melampau logika berpikir (sepertinya menggunakan kekuatan gaib) dengan adanya beberapa kasus yang sama sekali tidak terdeteksi bayangan dan susah rekam jejak pencuri oleh pemilik ternak. Di lain sisi, sepertinya ada proses kaderisasi yang sistemik dari seorang guru pencuri sehingga rantai pencurian di daerah ini tidak pernah putus diselesaikan. Begitu saking menjiwainya, sampai kegiatan mencuri tidak lagi menusuk urat malu si pelaku. Bahkan bersikap nekat serta berani bertaruh nyawa dalam ladang penjarahan material dan sosial masyarakat Sumba.

Jika dikaji secara mendalam, realitas ini merupakan gambaran dari retaknya sistem sosial yang sedang dilakoni di daerah ini. Mencuri merupakan implikasi logis dari peran sosial yang tidak dijalankan atau sengaja dibiarkan sehingga dari tahun ke tahun volume kasus pencurian semakin meningkat.

Pertama, keretakan itu dimulai dari masyarakat itu sendiri ketika minimnya daya kontrol sosial oleh tua-tua adat yang didaulatkan sebagai pemangku tradisi kebijakan lokal setempat.

Lebih dalam lagi ketika lembaga sosialisasi primer seperti keluarga dan lingkungan sekitar kurang memiliki kepekaan sosial dalam menjalankan fungsi kontrol dan sosialisasi. Lingkungan sosial merupakan elemen dasar dari tahap pembentukan karakter seseorang. Rusaknya lingkungan sosial dapat berakibat langsung terhadap sosialisasi awal bagi anak muda yang masih dalam proses pencarian jati diri. Singkatnya, lingkungan sosial merupakan fundasi dasar dalam tahap perkembangan individu agar dapat menemukan jati dirinya.

Kedua,tidak berfungsinya kontrol sosial dari pemerintah dan ketegasan aparat penegak hukum. Pemerintah selaku pembuat kebijakan dinilai gagal dalam menjalankan kebijakan yang menyentuh masalah sosial. Pembangunan yang selama ini dijalankan hanya sebatas pembangunan fisik tetapi mengesampingkan pembangunan yang berbasis nilai dan karakter individu. Pemerintah merasa bangga dengan semarak pembangunan jalan, gedung, listrik dan infrastruktur lainya tetapi melupakan pembangunan masyarakat yang berbasis nilai. Hal ini juga berakibat pada goncangan budaya karena pelangi pembangunan yang tidak dibarengi dengan pembangunan karakter manusianya.

Selain itu, aparat penegak hukum (kepolisian setempat) berlaku surut bahkan tumpul dalam menegakan keadilan. Selama ini, ratusan kasus pencurian absen dari jangkauan penegak hukum bahkan angin tidak sedap datang dari masyarakat dan gosip-gosip liar terhembus bahwa aparat keamanan juga hampir dikatakan terlibat juga dalam konspirasi besar-besaran ini. Hemat saya, ada benarnya juga. Bisa dibayangkan selama puluhan tahun tindakan pencurian di daerah ini tidak pernah berhasil diatasi. Dimanakah peran pihak kepolisian yang punya alat represi dan wewenang yang besar dalam kasus ini?

Ketiga, tokoh agama. Maraknya kasus pencurian juga dapat dihubungkan dengan efektifitas lembaga agama sebagai pemangku ajaran moral dan akhlak. Apa yang salah dari lembaga ini sehingga ajaran moral sosial agama tidak dapat menghentikan tindakan amoral ini? Ataukah ajaran tersebut belum membumi dan mendarah daging di daerah ini. Agama merupakan institusi moral yang layak disuguhi pertanyaan sangsi soal keberadaan beberapa agama di daerah ini.

Mengakhiri mentalitas pencurian di daerah Sumba merupakan pekerjaan rumah kita bersama lebih khusus elemen sosial yang telah saya sebutkan di atas. Maraknya kasus pencurian menuntut refleksi dan evaluasi yang mendalam agar keresahan sosial dan stigmatisasi Sumba sebagai daerah pencuri dapat dihilangkan bahkan dimusnahkan hingga ke akarnya. Di samping itu, pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat penegak hukum harus memiliki kepekaan sosial dalam melihat masalah ini secara serius dan komperhensif.

Pos terkait