Sejarah Moko di Alor, NTT

Salah satu keunikan yang dapat Anda jumpai Pulau Alor adalah ditemukannya banyak moko, padahal benda ini adalah salah satu peninggalan budaya pra-sejarah Dongson di Vietnam Utara. Selain dikenal sebagai Negeri Nusa Kenari, Pulau Alor juga memiliki julukan Negeri Seribu Moko, itu tidaklah mengherankan karena memang moko telah berperan penting bagi masyarakat Alor sejak zaman dahulu.

Masyarakat Alor menyebut moko sebagai sebutan untuk nekara perunggu. Umumnya bentuk moko di Alor tergolong nekara tipe pejeng dengan bentuk dasarnya lonjong seperti gendang berbagai ukuran. Moko berbentuk seperti drum dengan diameter 40 – 60 sentimeter dan tingginya 80 – 100 sentimeter, memiliki 4 telingga yang berfungsi sebagai peganggan. Pola hiasnya beragam tergantung zaman pembuatannya, bila diperhatikan seksama bentuknya mirip dengan benda-benda perunggu di Pulau Jawa pada masa Kerajaan Majapahit.

Hampir dipastikan tidak ada masyarakat adat di Nusantara yang mengoleksi moko dalam jumlah banyak seperti suku-suku di Pulau Alor. Banyak suku tradisional di Pulau Alor percaya bahwa Moko berasal dari tanah dan hanya dimiliki para bangsawan karena nilainya sangat tinggi. Moko dahulu ternyata sempat berfungsi sebagai alat tukar ekonomi masyarakat pulau ini, bahkan sempat menyebabkan inflasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan penguasa pun membuat sistem baru dengan membatasi peredaran Moko di Pulau Alor. Di beberapa suku tradisional di Pulau Alor, moko juga digunakan sebagai gendang untuk mengiringi tarian adat. Biasanya alat musik gong dan moko dimainkan untuk mengiringi tari-tarian tradisional seperti tarian lego-lego.

Moko memiliki peranan penting bagi masyarakat Alor, yaitu kepemilikan terhadap jumlah dan jenis moko tertentu dapat menunjukkan status sosial seseorang. Misalnya saja kepemilikan moko malei tana atau moko itkira menunjukan status sosial yang cukup tinggi dan terpandang. Bahkan yang memiliki kedua Moko tersebut memiliki pengaruh dalam setiap kepemimpinan tradisional masyarakat Alor.

Selain sebagai alat musik tradisional, moko juga berfungsi sebagai peralatan belis atau mas kawin. Dalam tradisi pernikahan masyarakat Alor, moko digunakan sebagai alat pembayaran belis atau mas kawin seorang laki-laki kepada calon istrinya, itu karena moko dipercaya dapat mengikat pernikahan. Hingga kini, adat menjadikan moko sebagai mahar masih terus berlangsung. Suku di Alor yang masih menetapkan mas kawin dengan moko adalah suku Darang (Raja), Tawaka, Kalondama, Kawali, dan Balomasali. Tinggi rendahnya status sosial dinilai oleh banyaknya moko yang disanggupi saat membayar mas kawin. Apabila pihak keluarga pria tidak memiliki Moko maka mereka harus meminjam moko kepada tetua adat. Peminjaman ini pun tidaklah gratis karena pihak keluarga pria harus menggantinya dengan sejumlah uang yang cukup besar. Sulit memisahkan peran moko dan belis dalam kehidupan masyarakat Alor terutama dalam perkawinan. Fungsi moko di Alor hampir mirip dengan gading di Flores Timur.

Sampai saat ini masih banyak suku yang menyimpang moko itu untuk kepentingan adat perkawinan. Akan tetapi, sangat disayangkan juga banyak yang telah dibawa ke luar Pulau Alor oleh para pemburu barang antik. Harga satu buah Moko bervariasi dimana itu bergantung pada besar kecilnya ukuran moko, tahun pembuatannya, serta pola hiasnya. Akan tetapi, bagi masyarakat Alor, moko tidak dapat diukur dengan uang karena moko mempunyai kedudukan dan nilai tersendiri dalam budaya, sejarah, dan sistem sosial masyarakat Alor.

Anda dapat mengunjungi Museum 1000 Moko di Jalan Diponegoro, Kalabahi, untuk melihat langsung beragam jenis moko serta kekayaan budaya Alor lainnya, termasuk juga tenunan indah Alor (kawate) yang kaya warna dan corak. Museum ini berambisi mengoleksi moko dalam jumlah banyak hingga 1.000 atau lebih dengan mengumpulkannya dari masyarakat maupun dari luar Alor. Di museum ini Anda dapat menemukan satu-satunya moko yang paling besar yang disebut moko nekara yang ditemukan Simon J Oil Balol berdasarkan petunjuk mimpi. Anda juga akan melihat 23 moko ukuran kecil setinggi tiga atau empat jengkal orang dewasa.

Pilihan lain untuk melihat beragam jenis moko Alor adalah mengunjungi Desa Bumpa Lola yang dikenal juga sebagai “Desa Seribu Moko”. Desa ini dianggap yang paling banyak menyimpan moko tetapi tidak untuk diperjualbelikan. Di sini moko diwariskan turun-temurun sebagai mas kawin untuk pasangan yang baru menikah serta sebagai simbol status sosial. Mereka wajib menyimpan dan menjaganya, apabila menghilangkannya maka keluarga tersebut akan kehilangan wibawa di masyarakat.

Source : http://indonesia.travel/id/destination/786/alor/article/180/moko-benda-budaya-penting-di-pulau-alor melalui http://www.way2east.com

Pos terkait