Walhi Minta Pemprov NTT Revisi Perda Penegasan Hak Atas Tanah

Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanahamu didampingi Divisi Advokasi Walhi NTT, Umbu Tamu Ridi ketika memberi keterangan Pers
Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanahamu didampingi Divisi Advokasi Walhi NTT, Umbu Tamu Ridi ketika memberi keterangan Pers

Kupang, Savanaparadise.com, – Pemerintah provinsi NTT merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak memiliki Peraturan Daerah tentang pengakuan terhadap hukum adat. Pemerintah NTT hanya memiliki Perda No 8. Tahun 1974 . Perda ini hanya mengatur Pelaksanaan Penegasan Hak Atas Tanah.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mengakui hak ulayat masyarakat dengan merevisi Peraturan Daerah (Perda) No 8. Tahun 1974.

“Pemerintah perlu merevisi Perda tersebut karena masih dijadikan sebagai acuan oleh Pemda dalam membuat kebijkan yang mana tidak mengakomodir hak-hak masyarakat terkait pengelolaan hutan, pengelolaan lingkungan dan lainnya,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia NTT, Umbu Wulang Tanahamu kepada wartawan di Kupang, Kamis (22/12/2016).

Dalam pandangan Wahli, Perda No. 8 tahun 1974 tersebut merupakan awal mula penghancuran terhadap hutan adat di daerah tersebut.

Dia mengungkapkan, tantangan yang dialami di daerah saat ini yakni tidak adanya keterpaduan antara kebijakan dan peraturan daerah, sehingga perlu didorong agar pemerintah lebih bijak dalam menetapkan aturan.

“Kalau mengacu pada peraturan daerah tersebut maka sesungguhnya masyarakat tidak diberi ruang atau dengan kata lain tidak memiliki hak ulayat dan Perda ini sendiri menjadi buah si malakama bagi pemerintah daerah,” ungkapnya.

Umbu Wulang berpendapat, Walhi melihat pola pengelolaan hutan di NTT adalah “Lestari dan Silahkan Miskin” artinya, pemerintah menginginkan agar hutan harus tetap lestari, tetapi membiarkan masyarakat di sekitar hutan tetap miskin.

“Kami kuatir bahwa manajemen pengelolaan hutan jika tidak dikelola dengan baik maka akan mengakibatkan sejumlah persoalan baru di masyarakat, salah satunya adalah krisis air bersih,” ujarnya.

Sementara itu, Divisi Advokasi Walhi NTT, Umbu Tamu Ridi menilai, dalam pelaksanaan peraturan selama ini, belum ada keterpaduan antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mengatur tentang pelaksanaan hak atas tanah.

“Sebesar apapun kebijakan pemerintah pusat dalam proses keputusan kementerian, ketika tidak dibarengi dengan keterpaduan dengan peraturan pemerintah daerah maka terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan peraturan tersebut,” katanya.

Karena itu, lanjut dia, Walhi NTT mendorong Pemerintah Daerah NTT bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selaku pengambil kebijakan atau pembuat peraturan untuk mengangkat persoalan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat atau tanah ulayat.

“Kita ketahui bahwa di berbagai daerah di NTT memiliki hak ulayat berupa tanah, hampir disetiap desa ada tanah ulayat, sehingga pemerintah mestinya melakukan identifikasi secara baik terhadap komunitas-komunitas adat yang ada di daerah,” tandasnya.(SP)

Pos terkait