Warga NTT Mengamuk di Gedung DPRD Sultra

warga ntt berdemo di gedung DPRD Sultra/foto kompas.com
warga ntt berdemo di gedung DPRD Sultra/foto kompas.com

Kendari, Savanaparadise.com,- Puluhan warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengaku sebagai korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari PT Damai Jaya Lestari (PT DJL), perusahaan perkebunan kelapa sawit di Konawe Utara, Jumat (16/10) mengamuk di halaman gedung DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra). Para mantan pekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit itu marah karena anggota DPRD dan Dinas Tenaga Kerja Sultra menilai PT DJL tidak melakukan pelanggaran apa pun.

“Selama lima tahun bekerja di PT DJL kami diperlakukan seperti budak oleh perusahaan. Hak-hak kami sebagai pekerja banyak diabaikan oleh perusahaan. Tapi anggota DPRD dan Dinas Tenaga Kerja Sultra yang melakukan investigasi malah berkesimpulan PT DJL tidak melanggar apa pun. Ini sama saja membunuh kita,” teriak Hermianus, salah seorang mantan pekerja yang merasa sebagai korban PHK, usai mengikuti acara dengar pendapat di gedung DPRD Sultra, di Kendari Jumat (16/10).

Mendengar teriakan Hermianus, teman-temannya yang menginap di gedung DPRD Sultra sejak empat hari terakhir ini, serentak berteriak dan berlarian berusaha mengejar general manajer PT DJL yang hadir dalam acara dengar pendapat tersebut.

Beruntung, petugas keamanan yang siaga di halaman gedung DPRD Sultra segera mengendalikan situasi sehingga amukan warga dapat cepat diredam. Aparat keamanan segera menggiring warga ke teras gedung DPRD, tempat para korban menginap dan menggelar tikar sebagai alas tidur. Petugas meminta warga asal NTT itu agar tenang dan mempercayakan penyelesaiaan masalah mereka kepada anggota DPRD Sultra dan pihak Dinas Tenaga Kerja.

“Tolong dengarkan saya. Jangan membuat keributan di sini, apa yang menjadi tuntutan sudara-sudara sedang dikomunikasikan oleh anggota DPRD dan Dinas Tenaga Kerja kepada pihak perusahaan,” kata seorang petugas melalui pengeras suara. Sebelumnya di dalam ruang rapat gedung DPRD Sultra,

Ketua Panitia Kerja (Panja) DPRD Sultra, Suwandi dan Dinas Tenaga Kerja setempat menyampaikan hasil investigasi terhadap PT DJL yang dilaporkan telah memperlakukan pekerjanya secara semena-mena. Hasil investigasi kedua lembaga tersebut menyimpulkan PT DJL tidak melanggar apa pun dalam mempekerjakan para pekerja yang saat ini menginap di gedung DPRD (Sultra).

“Kami anggota Panja yang terdiri atas anggota Komisi I, II dan IV DPRD Sultra telah melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran PT DJL terhadap para karyawannya. Hasilnya, PT DJL dalam mempekerjakan pegawai sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tutur Suwani. “Beberapa pekerja yang kami temui di lokasi perkebunan PT DJL di Konawe Utara, mengaku tidak pernah diperlakukan semena-mena oleh perusahaan. Hak-hak mereka sebagai pekerja seperti pelayanan kesehatan dan pembayaran uang lembur, dibayarkan oleh perusahaan sesuai kesepakatan dengan para pekerja,” lanjutnya.

Hasil investigasi dari tim Panja DPRD Sultra tersebut tidak berbeda jauh dengan temuan tim dari Dinas Tenaga Kerja Sultra. Menurut Kepala Bidang Pengawasan Dinas Tenaga Kerja, Magner Sinaga, PT DJL tidak pernah mengabaikan hak-hak pekerjanya, kecuali upah kerja yang diberikan kepada para pekerja kurang dari Rp 4.800 per hari bila dibandingkan dengan Upah Minimum Regional Provinsi Sultra yang sebesar Rp 1.600.850 per bulan.

“Karena itu, kami dari pihak Dinas Tenaga Kerja merekomendasikan kepada pihak PT DJL agar membayarkan kekurangan upah tersebut kepada para pekerja,” kata Magner.

Selain itu, Dinas Tenaga Kerja juga merekomendasikan kepada aparat kepolisian untuk mengusut provokator yang menyebabkan 203 orang yang dianggap korban PHK itu datang menginap di gedung DPRD Sultra. Sebab sesuai hasil investigasi, pekerja yang mengaku sebagai korban PHK ini diprovokasi oleh oknum tertentu untuk mengaku sebagai korban PHK dan menuntut pembayaran hak-hak mereka yang katanya diabaikan oleh perusahaan. “Padahal sesuai keterangan teman-teman mereka yang saat ini masih bekerja di PT DJL, mereka yang datang di gedung DPRD ini meninggalkan perusahaan atas keinginan mereka sendiri, bukan karena di-PHK oleh perusahaan,” kata Magner.

Melebihi UMR Provinsi

General Manajer PT DJL, Tjan Hamidi yang hadir dalam dengar pendapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Sultra, Nursalam Lada itu mengakui upah yang diterima para pekerja kurang dari UMR Provinsi. Namun, bila beras 30 kilogram, sewa rumah, listrik dan air bersih yang diberikan perusahaan secara gratis pada setiap bulannya dihitung, berarti perusahaan justru membayar para pekerja melebihi UMR Provinsi.

“Makanya, kami merasa tidak pernah memperlakukan pekerja secara semena-mena. Terhadap hak-hak pekerja seperti pelayanan kesehatan dan kecelakaan kerja, perusahaan selalu memenuhi kewajibannya, kecuali jika pekerja bersangkutan tidak melapor kepada perusahaan,” katanya.

Menurut Tjan, para mantan pekerja yang menginap di gedung DPRD Sultra meninggalkan perusahaan atas keinginan sendiri. Meski demikian, perusahaan memberikan biaya pulang ke daerah asal, NTT sebesar Rp 880.000 per pekerja. Saat Tjan menyampaikan keterangan tersebut, tidak satu pun mantan pekerja yang ikut dalam dengar pendapat tersebut memprotes.

Bahkan Ketua Kerukunan Keluarga NTT di Sultra Maidin Abdul Said yang disebut Tjan telah menerima gaji para pekerja atas kuasa dari para pekerja sebesar Rp 34 juta, juga tidak protes. “Kami tidak paham kalau harus membayar sebesar Rp 1,5 miliar yang diminta Pak Maidin sebagai kompensasi. Kompensasi apa? Kami dengan para mantan pekerja ini sudah tidak ada hubungan apa-apa karena hak-hak mereka sudah kami berikan dan meninggalkan perusahaan atas pemintaan mereka sendiri,” kata Tjan.

Ketua Kerukunan Keluarga NTT di Sultra, Maidin yang diberi kesempatan menanggapi hasil investigas DPRD, Dinas Tenaga Kerja dan keterangan General Manajer Perusahaan, Tjan Hamidi, hanya mengatan menolak hasil investigasi tersebut. Menurutnya, hasil investigasi tersebut tidak benar karena tim investigasi tidak melibatkan anggota Kerukunan Keluarga NTT.

“Jelas hasil investigasi kedua lembaga itu sangat subyektif. Kedua lembaga itu hanya mendengarkan keterangan dari pihak perusahaan dan pekerja yang mendapat manfaat dari perusahaan,” katanya.

Wakil Ketua DPRD Sultra, Nursalam Lada yang memimpin rapat tersebut mengatakan hak Ketua kerukunan Keluarga NTT untuk tidak menerima hasil investigasi kedua lembaga itu. Kalau kerukunan keluarga NTT merasa memang ada pelanggaran dari pihak perusahaan, silakan menempuh upaya hukum lewat pengadilan. “Kita tidak pada posisi menilai siapa yang benar dalam masalah ini. Kami hanya menyajikan hasil investigasi tim Panja DPRD. Kalau kerukunan keluarga punya informasi lain dan bukti-bukti pelanggaran dari pihak perusahaan, silakan gugat ke pengadilan,” kata Nursalam.(sinarharapan.co)

Pos terkait