Oebani, ‘Mazmur’ Syukur Panen di Kabupaten TTU

• Salah Satu Warisan Budaya Atoin Meto
• Bangkitkan Semangat Gotong Rorong

salah satu objek wisata di kabupaten TTU/ foto nelsonsasiblogspot
salah satu objek wisata di kabupaten TTU/ foto nelsonsasiblogspot

Suara teriakan, canda, tawa ramai terdengar di ‘suf’ faot esu, seantero lokasi kebun petani desa yang saling berbatasan sama lainnya. Tiba saatnya hari mulai sore, petani mulai bergegas pulang ke kampung. Ada yang berjalan kaki sambil menjunjung bawaan masing-masing, beriringan membentuk barisan-barisan panjang. Ada juga di jalan ‘raya’ rintisan dari dan ke kebun banyak ojek berebutan penumpang, terutama muatan / barang hasil panenan. Ada jagung, kacang tanah, padi, ada juga yang membawa kayu api, juga dedaunan (pakan ternak). Itulah pemandangan yang bisa anda jumpai di waktu musim panen di daratan pulau Timor.

Bacaan Lainnya

Di Desa Banain, Kecamatan Bikomi Utara, kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) misalnya para petani menyambut datangnya musim panen ini dengan cara yang khas. Sepulang dari kebun di sore hingga malam harinya, sering dijumpai nyanyian –nyanyian khas daerah setempat. Nyanyian ala “mazmur” syukur terdengar di beberapa rumah petani. Nyanyian tradisional itu pratanda syukur atas hasil panen sekaligus secara simbolis mengajak warga sekitar untuk datang, bergotong royong— merapikan panen hasil tanaman mereka yang diberikan sang khalik Agung. Oleh warga setempat nyanyian tradisional ini dikenal dengan istilah Oebani. Oebani—ajakan bergotong royong ini sudah menjadi tradisi dan warisan sejak nenek moyang. Diawali hanya beberapa orang namun lama kelama akan semakin banyak yang datang dan mengambil bagian dalam moment sukacita itu.

Bagi anak desa yang sempat merantau ataupun tetamu dari daerah lain momentum ini tentu hal baru dan sungguh tersentuh hingga ke kalbu. Terlebih lagi orang asli kampung setempat dan desa-desa di sekitarnya. Nyanyian ini membangkitkan semangat gotong royong penuh ketulusan dan keiklasan serta pengorbanan tanpa rasa berkorban.

Tidak ada undangan disana. Pun tidak ada petugas khusus yang diminta untuk mengabarkan hajatan itu kepada tetangga. Oebani-lah yang seolah memiliki kekuatan magis/mistik mengundang semua tetangga berdatangan hingga sejauh suara nyanyian menjangkau. Tidak ada rasa rugi, atau semacam permintaan upah dari yang datang membantu. Justru damai dan suasana keakraban kental terasa saat itu. Lagu khas itu seakan memanggil siapapun untuk bergeegas datang dan berkumpul. Mendengarkan nyanyian (oebani) ini seolah tidak sabar lagi segera harus merapat ikut ambil bagian dalam kebersamaan itu.

Adapun kegiatan yang dilakukan bersama saat itu adalah membereskan panenan khususnya jagung yang barusan terkumpul usai dipetik dari kebun seharian. Jagung tersebut dirapikan, diikat menggunakan kulit jagung dan disimpan pada tempatnya. Selama aktivitas itu berlangsung, masyrakat kaum tani di Desa it uterus menyanyikan lagu Oebani sambil merayakan makan bersama dengan menu tradisional yang langsung diambil dari hasil panen tersebut.

Malam itu di rumah Baltasar Neno. Suasana semarak dan semangat, sahut menyahut, simfoni Oebani, nada perempuan dan laki-laki saling beriringan satu sama lain membentuk satu koor Oebani. Ada kelompok-kolompok, ada yang mendahului, ada yang mengikuti membentuk canon koor yang sangat indah. Ada juga saat-saat jeda yang dihiasi dengan candaan, lawak, dan cerita-cerita lucu lainnya. Suasana keakraban dan persahabatan penuh ketulusan dan keiklasan kental terasa saat itu. Hal yang sama juga terasa di rumah Yulius Oki, juga di rumah, kebun dan tempat-tempat lain.
Agustinus Bese, salah satu tokoh adat desa Banain B saat dikonfirmasi terkait lagu syukuran itu mengatakan Oebani merupakan kekayaan budaya yang diwariskan turun temurun. Ini bentuk syukur kami atas panenan, berkat dari Tuhan, semesta raya atas doa dan restu leluhur kami, katanya.

“Kami masyarakat sekitar tidak perlu diundang. Saat kami mendengar lantunan simfoni oebani ini, kami tidak tenang, kami tidak bisa tidur diam di rumah. Ada kekuatan memanggil kami, saat kami sudah menghadiri acara ini baru terasa ada kepuasan di batin kami. Setelah selesai acara ini baru kami dapat pulang dan tidur dengan tenang,”ungkapnya

Hal senada disampaikan juga oleh Petrus Kefi dan Antonius Oki, tokoh adat setempat. Mereka mengatakan ada juga “nel” adalah solo ‘pantun’ apresiasi terhadap perempuan dan laki-laki (suami-istri pemilik paenan) sahut-menyahut diwakili oleh dua orang laki-laki yang dianggap mampu, menguasai tutur adat dan kearifan lokal setempat. Dalam nel / solo tersebut merupakan pesan inti kehidupan / nilai luhur kehidupan.

Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten TTU, Yohanes Sanak ketika dikonfirmasi terkait adanya lagu tradisional ini mengatakan, ada banyak sekali aset dan kekayaan budaya setempat. Ada lagu-lagu, alat musik, tarian dan banyak sekali kekayaan lain. Kita akan segera melakukan inventarisasi,” katanya. (tim/yuko/42na)

Pos terkait