Opini: Korupsi, Oligarki, dan Mundurnya Demokrasi

Oleh: Gede Sandra (Akademisi Universitas Bung Karno)

Masalah utama Bangsa ini adalah korupsi. Reformasi gagal karena dikorupsi, begitu kata mereka yang berjuang di jalan. Korupsi bukan hanya soal memberantas Pungli di jalanan dari-menuju pelabuhan dan terminal, itu nilainya tidak seberapa besar.

Bacaan Lainnya

Tapi korupsi juga soal mengadili oknum politisi yang mengutip hak rakyat yang lebih banyak, semisal dalam kasus korupsi Bansos. Nilainya jauh lebih besar dari Pungli di pelabuhan. Dan dalam kasus korupsi Bansos, yang rugi adalah mayoritas rakyat Indonesia.

Korupsi Bansos juga menghambat pemulihan ekonomi, karena daya beli rakyat sebagian dihisap oleh para oknum tersebut. Kualitas bansos yang diterima rakyat menjadi sangat buruk, jauh di bawah standar. Untuk pengadaan tas goodie bag Bansos misalnya, ditunjuk grup tekstil besar asal Solo. Harganya dua kali lipat dari harga yang umumnya.

Grup ini mendapatkan kontrak bernilai triliunan tanpa lelang, tetapi melalui penunjukkan. Secara hukum, penunjukan langsung untuk pekerjaan di atas Rp 200 juta sudah tidak wajar. Tapi kelihatannya aparat tidak ada yang berani bersuara mempermasalahkan, ini diduga karena grup bisnis ini sangat dekat dengan Presiden dan anaknya yang menjadi Walikota Solo sekarang.

Beruntungnya lagi, belum lama ini grup yang sama mendapatkan restrukturisasi utangnya dari Bank BUMN, yang juga bernilai triliunan. Sementara, fee hasil menghisap hak rakyat dalam pengadaan Bansos, dibagi-bagikan ke beberapa nama.

Kabarnya ada nama yang sangat penting di sana (Madam Bansos?). Persidangan kasus Bansos mengungkap, bahwa ada juga aliran dana untuk membiayai kampanye pilkada untuk partai politik tertentu. Kebetulan ini adalah partai politik yang sama yang mana Presiden dan Walikota Solo menjadi kadernya.

Menjadi terang benderang bagaimana skema utama dari korupsi di era Reformasi. Korupsi anggaran Negara, duitnya digunakan untuk membiayai kegiatan politik dan memperkaya diri. Nanti setelah terpilih, mereka akan korupsi lagi dari anggaran Negara. Begitu terus siklusnya.

Karena itu, bagi mereka, KPK harus dilemahkan. Jangan sampai ada nama-nama baru yang penting yang muncul, apalagi menyenggol nama pewaris dinasti partai tersebut. Penyidik-penyidik kasus Bansos harus pergi dari KPK, karena itulah ada tes wawasan kebangsaan (TWK) yang sangat kita kutuk. Pencetusnya TWK ini pun dari BKN, yang berada di bawah kementerian yang dipimpin kader partai yang sama. KPK kemudian selesai, tidak mampu bertahan dalam lingkungan yang korupsinya semakin sistemik.

Tidak hanya di kabinet, upaya pelemahan pemberantasan korupsi juga terjadi di pengadilan. Kita selalu sedih ketika hukuman untuk para koruptor selalu sangat rendah. Jaksanya tidak mampu membuktikan dengan baik, hakimnya tidak mau menggali dengan baik, bila kita tidak mau menuduh mereka sudah dikorup juga.

Presidential Threshold & Pembiayaan Parpol 

Sistem korupsi yang menjadi-jadi ini, kami memandang, sangat berhubungan dengan sistem politik. Karena KPK pun dilahirkan oleh politik melalui UU yang disetujui pemerintah dan DPR. Korupsi yang menjadi semakin mapan di kalangan elit politik ini akan terus langgeng apabila Presidential Threshold yang tinggi masih dipertahankan dan pembiayaan partai politik belum diterapkan.

Presidential Threshold yang tinggi (20% suara dukungan parpol untuk maju Pilpres), yang diikuti di daerah-daerah seluruh Indonesia (20% suara dukungan parpol untuk maju Pilkada) adalah salah satu sumber utama dari korupsi politik ini. Karena tidak mungkin maju sendiri, parpol terpaksa bergabung mendukung calon yang mampu membayar “sewa” parpol mereka.

Si calon, bila kebetulan bukan orang yang kaya, terpaksa mencari dukungan grup-grup bisnis yang mau membiayai “sewa parpol” tersebut. Nilainya tidak main-main, dalam kontes semacam Pilpres harga sewa parpol infonya hingga triliunan rupiah. Ini sistem yang sangat jahat, menutup munculnya pemimpin alternatif. Sehingga calonnya menjadi itu-itu saja, kalau bukan orang yang kaya karena korupsi, dia harus orang yang dekat dengan grup-grup bisnis besar. Nanti bila calon ini menang, gantian grup-grup ini minta balas jasa. Akhirnya pemimpin terpilih terpaksa korupsi lagi untuk balas jasa itu. Inilah asal muasal dari apa yang nanti akan kita bahas sebagai oligarki, atau percukongan.

Solusinya tentu adalah penghapusan Presidential Threshold, yang diikuti sampai ke daerah-daerah. Ini akan memaksa partai-partai untuk mencari calonnya masing-masing. Apakah Ketua Umum Partai tersebut, atau menjaring tokoh alternatif yang didukung publik partainya. Tidak ada lagi politik biaya tinggi “sewa parpol”, setiap parpol akan memiliki calon pemimpinnya sendiri-sendiri. Banyak calon tidak masalah, toh pada putaran kedua tinggal dua calon. Manfaat lainnya adalah juga tidak akan ada lagi pembelahan masyarakat seperti yang terjadi dalam Pilpres 2019. Karena banyak pilihan partai dan capres, masyarakat akan semakin dewasa dalam berpolitik.

Sumber korupsi politik lainnya adalah dalih penggalangan dana partai politik. Seperti dalam kasus korupsi bansos, memang diakui ada aliran ke pembiayaan pilkada, tapi pasti lebih besar aliran uang korupsi untuk memperkaya diri sendiri. Tujuannya tetap memperkaya diri, penggalangan dana untuk partai hanya menjadi pembenaran mereka melakukan korupsi.

Sedihnya, hal ini -permainan anggaran dengan alasan membiayai politik- sudah menjadi tren yang menghinggapi para politisi di senayan beserta para stafnya. Bermain rente proyek demi membiayai partai, katanya. Ujungujungnya korup gila-gilaan, membebani ratusan triliun anggaran negara.

Jadi, daripada mereka terus korupsi dengan pembenaran untuk membiayai kegiatan politik, lebih baik dialihkan semua beban pembiayaannya ke Negara. Tidak mahal, kurang dari Rp 20 triliunmasih lebih banyak korupsi Jiwasraya dan Asabri! Negara akan mengaudit Rp 20-an triliun untuk parpol secara ketat dan mengalokasikan biaya untuk kampanye secara efisien.

Pembiayaan partai politik oleh Negara ini mengacu pada sistem yang berlaku di sebagian besar Negara di Eropa, Australia, dan New Zealand. Para aktivis, jurnalis, akademisi, budayawan, dan elemen rakyat lainnya, dapat aktif berpolitik. Sehingga akan datang masa di mana politik bukan lagi hanya oligopoli mereka yang berduit.

Jadi bila para parpol semakin kurang korup, akan ada banyak tokoh-tokoh alternatif yang lebih berintegritas mulai memenuhi dunia politik-yang selama ini sulit masuk ke lingkaran kekuasaan. Sehingga kita dapat berharap di parlemen nanti: kapolri, jaksa agung, hakim agung, ketua KPK, BPK, MK, benar-benar dipilih orang-orang yang berintegritas. Sehingga kelak KPK tidak lagi sibuk menangkapi politisi, melainkan agresif mengawasi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Bila penegak hukumnya sudah tertib, maka hukum akan lebih adil untuk rakyat.

Oligarki/Percukongan

Percukongan adalah istilah yang lebih sederhana untuk oligarki. Cukong yang mengatur negara, membiayai undang-undang, peraturan, termasuk membiayai politisi korup, media massa, lembaga survey, spin doctor, influencer, dan penegak hukum. Sistem percukongan ini sangat kompak, kekuatannya lintas parpol. Contoh kemenangan oligarki terjadi dalam revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan UU Cipta Kerja.

Pelemahan KPK adalah tujuan utama revisi UU KPK, ini akan melindungi para politisi korup. Dalam revisi UU Minerba yang diuntungkan adalah para cukong pengusaha tambang yang memperoleh perpanjangan konsesi otomatis dan pembebasan pajak PNBP. Nyatanya sebagian menteri di kabinet dan politisi di parlemen juga memiliki usaha pertambangan. Selain itu, dalam UU Cipta Kerja yang juga paling diuntungkan jelas para cukong pemilik pabrik, karena banyak hak pekerja yang dikorbankan di sini. Anti pekerja adalah karakter asli para cukong, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana meningkatkan profit usahanya saja.

Sistem percukongan (oligarki) ini berlindung di balik sempitnya demokrasi. Presidential threshold haruslah setinggi-tingginya, agar selalu “boneka”-nya para cukong yang menang dan memimpin. Dan kalau bisa, tiga periode katanya. Cukong memang selalu nyaman dengan sistem yang lebih otoriter, kalau bisa mendekati Orde Baru.

Sehingga akan sangat berbahaya bagi para cukong bila akhirnya yang menang adalah calon alternatif yang didukung rakyat, yang menginginkan Indonesia lepas dari jeratan oligarki. Maka lembaga seperti MK jelas berada di bawah kendali para cukong ini, agar segala gugatan terhadap Presidential Threshold harus ditolak (sudah 15 kali ditolak). Apapun caranya, berapapun biayanya.

Ambil contoh, ada seorang cukong besar yang mengaku menguasai 112 orang anggota DPR. Merupakan fraksi terbesar. Sebagian perwira tinggi dan menengah di tentara dan kepolisian hingga kejaksaan di bawah kendali si cukong. Kepentingan cukong ini jelas, agar kepentingan bisnisnya diamankan di DPR. Bahkan salah satu gubernur jelas adalah juru bicara grup bisnis mereka. Ini baru satu cukong. Ada cukong-cukong yang lain yang juga memiliki pola permainan mirip.

Bisa dibayangkan, akibatnya seluruh pejabat kita dalam trias politica plus pertahanan, disibukkan oleh kepentingan bisnis para cukong. Bukannya mereka mengayomi rakyat, malah lebih sering berhadapan dengan rakyat.

Mundurnya Demokrasi

Oligarki sangat berkepentingan dengan mundurnya demokrasi. Sebisa mungkin bagaimana caranya agar rakyat takut berbicara, maka diadakanlah UU ITE dan Revisi UU KUHAP tentang hukuman penghina presiden dan anggota DPR. Dijaganya angka Presidential Threshold yang tinggi, agar permainan menjadi lebih mudah bagi mereka. Hanya dua calon, dan keduanya harus adalah orangorangnya oligark. Dibuatnya aturan yang mempersulit munculnya partai baru. Demokrasi menjadi sempit.

Akibatnya suara-suara yang menyuarakan ketidakadilan menjadi sulit didengar. Ratapan dan tangisan dari rakyat yang direbut aset atau hak hidupnya oleh Negara, sejak masa lalu hingga kini, tidak digubris. Anggota DPR yang harusnya menyuarakan suara rakyat yang kritis, malah berbalik menjadi juru bicara pemerintah dengan menantang rakyat. Aparat kemananan memberangus penyuaraan hak rakyat di jalanan dengan semakin beringas.

Influencer dan buzzer di Medsos menghabisi nama baik oposisi dengan segala cara, termasuk dengan hoax pelecehan (body shaming). Rektor menghukum Dosen dan Mahasiswanya yang kritis kepada pemerintah. Padahal ada masalah yang lebih pelik untuk diurus para rektor: peringkat internasional dari kampus-kampus Indonesia turun terus .

Saat orang-orang takut berbicara dan menulis, maka demokrasi layu. Secara merangkak (creeping), sebenarnya demokrasi telah dikudeta oligarki untuk kembali ke era otoriter. Saking banyaknya rekayasa pengalihan isu, masyarakat tidak sadar telah digiring ke arah kemunduran demokrasi. Apa yang diperjuangkan sebagai tujuan oleh Reformasi telah habis tak tersisa, pemberantasan korupsi dan demokrasi telah diseret mundur.

Pos terkait