Opini : Upaya Penegakan Netralitas

 

Oleh: Denny Harakai M.Th
Komisioner Bawaslu Sumba Timur Divisi Hukum Penindakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa

Walaupun berbagai regulasi untuk mewujudkan netralitas ASN telah dibuat dan peringatan netralitas ASN juga telah dilakukan tetapi pelanggaran terhadap netralitas tersebut masih sering terjadi bahkan melibatkan ASN dari berbagai level .
Permasalahan tersebut ditemukan hampir pada setiap Pemilu maupun Pilkada.
Pelanggaran Netralitas dilakukan oleh ASN. Data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat hingga 26 April 2018 setidaknya terdapat 590 ASN yang melanggar netralitas pada 2018 dan tersebar di 26 provinsi. Bawaslu mengungkapkan bahwa ketidaknetralan ASN antara lain dengan cara melibatkan pegawai dari berbagai level dengan berbagai bentuk. Namun penindakan terhadap ASN yang terlibat politik praktis tersebut sulit dilakukan karena tidak ada sanksi konkret yang diatur dalam undang-undang.

Sanksi yang diatur hanya berkaitan dengan bergabungnya ASN dalam parta politik .Namun, berdasarkan Surat Edaran Menteri PAN& RB yang menginstruksikan netralitas ASN berkaitan dengan kegiatan pilkada maupun pilpres, ASN yang melanggar netralitas dapat dijatuhi hukuman disiplin ringan, sedang hingga berat.

Keterlibatan ASN dalam politik menjadi dilematis karena di satu sisi ASN memiliki hak untuk memilih sebagai bagian dari pelaksanaan hak-hak sipil. Hal ini berbeda dengan anggota TNI dan Polri aktif yang secara jelas tidak ikut memilih maupun dipilih. Penggunaan hak pilih dalam politik tersebut pada dasarnya merupakan keberpihakan ASN yang bersangkutan kepada salah satu kontestan, tetapi dilaksanakan secara tertutup di bilik suara. Sebelum melaksanakan hak pilihnya maka ASN perlu mengetahui visi misi dari para calon. Tanpa mengikuti perkembangan hajatan politik baik melalui media maupun secara langsung maka ASN tidak akan mengenal para calon. Dalam konteks ini tentu ASN yang menggunakan hak pilihnya menjadi berpihak dan tidak netral.
Di sisi lain, keikutsertaan ASN secara terbuka dalam kegiatan politik berpotensi menimbulkan persepsi publik tentang keberpihakannya.

Selain itu, netralitas belum dapat dijalankan sepenuhnya seperti yang diharapkan karena hak politik PNS masih ada. Untuk memperkuat struktur kelembagaan dalam penanganan pelanggaran netralitas, perlu dibuat suatu hubungan kerja fungsional-struktural dari Bawaslu, Bawaslu Kabupaten, BKD, dan Inspektorat di masing-masing daerah.Penguatan institusi seperti Bawaslu sebagai institusi pengawas pemilu, kemudian KASN yang memiliki kewenangan memberikan rekomendasi jika terjadi pelanggaran netralitas ASN, Kemendagri dalam upaya membina dan mengawasi pemerintah daerah, serta Kementerian PAN dan RB yang merupakan regulator dalam memberikan panduan bagaimana ASN bertindak sesuai dengan aturan.

Ada beberapa alasan mengapa kasus ketidaknetralan ASN,

Pertama, Faktor Loyalitas ASN
Faktor Loyalitas ASN dalam birokrasi pemerintahan turut mempengaruhi sikap ASN dalam perhelatan Pilkada. Sedari dulu kepala daerah memiliki kewenangan tertinggi dalam menentukan posisi pejabat struktural. Sementara Sekretaris Daerah sebagai pejabat administrasi pemerintahan tertinggi dan pimpinan tertinggi bagi ASN di daerah harus tunduk dan loyal kepada kehendak kepala daerah.
Sejak dahulu isu mutasi jabatan menjelang Pilkada selalu dimunculkan secara politis sebagai instrumen untuk mengendalikan loyalitas pejabat structural maupun fungsional di lingkungan pemerintah daerah. Kedekatan personal dan loyalitas antara ASN dengan kepala daerah dijadikan sebagai alat ukur utama dalam penempatan seseorang pada jabatan struktural sebuah kantor, dinas, lembaga atau instansi. Sedangkan faktor profesionalitas dan integritas tidak lagi masuk sebagai sebuah pertimbangan utama bahkan cenderung diabaikan.

Kedua, adanya solidaritas kekerabatan
ASN mendukung kerabat atau keluarga besarnya yang akan mengikuti kontestasi tersebut melalui berbagai kegiatan. Hubungan kekeluargaan antara ASN dengan calon kepala daerah tentu sangat memengaruhi netralitas. Hal ini sangat berpengaruh dalam penentuan sikap politik PNS. Jika PNS mempunyai saudara yang terlibat dalam pencalonan kepala daerah, tentunya mereka tidak akan membiarkan sudaranya berjuang sendiri dalam mencapai cita-citanya untuk terpilih sebagai bupati/walikota.

Dan ketiga ,adanya kepentingan di kalangan sebagian ASN untuk mendapatkan jabatan.

Pilkada secara langsung dapat memunculkan kelompok masyarakat yang mendukung dan tidak mendukung dan ada juga kelompok masyarakat yang menjadi relawan atau bukan relawan. ASN pun juga terbagi dalam beberapa kelompok. Salah satu kelompok adalah kelompok birokrat yang secara tegas maupun sembunyi-sembunyi menempatkan diri pada kelompok salah satu kandidat kepala daerah. Para ASN berusaha menanam jasa kepada kandidat dengan harapan kepentingan ekonomi, pengamanan jabatan serta perolehan jabatan yang lebih tinggi apabila kandidat yang didukungnya berhasil terpilih. Ini menjadi spekulasi atau pertaruhan bagi sebagian ASN bahwa jika calon yang mereka dukung bisa memenangkan kontestasi maka mereka berpeluang untuk mendapatkan promosi jabatan. Tetapi jika calon yang mereka dukung kalah maka mereka tetap berstatus sebagai ASN, dan bagi yang sudah senior bisa mengajukan pensiun dini dengan tetap mendapatkan tunjangan pensiun dan untuk pejabat yang masih aktif harus bersiap-siap dilemparkan ke wilayah pedalaman yang terpencil.

Ambiguitas Peraturan

Pasal 2 huruf f UU ASN mengatur bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN didasarkan pada asas netralitas. Penjelasan pasal tersebut menguraikan bahwa “asas netralitas” adalah bahwa setiap aparatur tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Di sisi lain Pasal 1 angka 2 UU ASN, menegaskan bahwa PNS yang merupakan bagian dari ASN selain pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja tetap mempunyai hak untuk memilih dalam Pemilihan Umum maupun Pilkada.
Pasal 53 UU ASN juga menimbulkan suatu persoalan yang sangat krusial, mengenai kewenangan bupati/walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat yang berada di wilayahnya. Ketentuan tersebut sering menjadi pemicu PNS berbuat tidak netral dalam pelaksanaan pilkada karena unsur loyalitas bawahan terhadap atasan sehingga mengesampingkan aturan.

Kerancuan juga terdapat dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 22 Juli 2015, Nomor : B/2355/M.PANRB/07/2015 tentang Netralitas ASN dan larangan penggunaan aset pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Surat edaran ini mengandung ketentuan yang multi tafsir, bahwa setiap ASN dilarang memberikan dukungan kepadakepala daerah/wakil kepala daerah dengan cara “terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah”.Kalimat ini multitafsir karena dapat dipahami/ditafsirkan bahwa ASN boleh mengikuti kampanye calon asalkan tidak memberikan dukungan. ASN bisa saja berdalil bahwa kehadirannya dalam kampanye sebatas untuk mengetahui figur, visi, dan misi kandidat. Oleh karena itu, sangat sulit untuk menentukan apakah ASN yang ikut kampanye tersebut memberi dukungan atau tidak.

Kesadaran Masyarakat

Masyarakat cenderung mengabaikan apabila mengetahui pelanggaran oknum ASN, sehingga banyak kasus pelanggaran netralitas tidak tertangani penegak hukum. Masyarakat tidak mau mengurusi atau tidak peduli, karena untuk melaporkan ASN yang telibat kampanye harus menunjukan bukti-bukti ke Panitia Pengawas Pilkada berupa foto, video dan lain – lain.
Pelaksanaan kebijakan netralitas ASN harus melibatkan berbagai aktor yang terkait baik di internal lembaga pemerintah maupun peran masyarakat dan organisasi di luar pemerintah seperti media massa dan LSM untuk ikut memantau implementasi kebijakan tersebut.

Peran masing-masing aktor (selain Bawaslu dan KASN) adalah sebagai berikut:

a. Pejabat Pembina Kepegawaian
Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) berada di kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah. PPK merupakan pejabat tertinggi yang melaksanakan tugas pembinaan kepada pegawai di lingkungan instansinya. Pejabat publik yang pada hakikatnya merupakan pimpinan puncak birokrasidi daerah, yaitu gubernur, bupati, walikota termasuk wakilnya wajib mendukung upaya mewujudkan netralitas ASN dalam Pilkada. Pemanfaatan birokrasi untuk kepentingan politik harus dihentikan karena bukan saja merusak citra ASN sebagai aparatur negara tetapi juga merugikan kepentingan publik. ASN jangan sampai terus menerus dijadikan ‘sapi perahan’ untuk mengais keuntungan politik. Upaya ini tentu memerlukan komitmen iktikad baik dari pejabat yang bersangkutan. Namun, sebagian PPK juga adalah bagian dari aktor politik yang terlibat dalam proses politik,misalnya kepala daerah terlibat mendukung salah satu bakal calon dalam pemilihan kepala daerah. Sebagai pejabat publik, seharusnya sadar terhadap ketentuan Pasal 67 huruf c
Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kewajiban kepala daerah adalah mengembangkan kehidupan demokrasi. Bukan demokrasi yang berkembang apabila di daerahnya justru terjadi praktik-praktik politik yang menodai kehidupan berdemokrasi dengan cara memobilisasi aparatur untuk kemenangansalah satu kepala daerah. Upaya untuk mewujudkan netralitas birokrasi ini harus dilakukan baik di tingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.

b. Inspektorat
Inspektorat merupakan bagian dari instansi pemerintah (Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah) yang memiliki tugas pengawasan terhadap kinerja unit-unit pemerintah, termasuk netralitas ASN. Pelibatan inspektorat dalam pembinaan netralitas ASN perlu dilakukan untuk mendukung terwujudnya terwujudnya ASN yang profesional.

c. Media Massa, LSM dan Masyarakat
Peran media massa, lembaga non pemerintah dan masyarakat umum perlu dilibatkan dalam upaya mewujudkan netralitas ASN. Peran yang bisa dilakukan adalah pengawasan (control) terhadap perilaku ASN baik yang berkaitan dengan pemilu maupun diluar pemilu. Oleh karena itu , diperlukan sosialisasi tentang netralitas ASN dan mekanisme pengaduan dari masyarakat untuk melaporkan apabila terjadi dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Melihat pelaksanaan netralitas ASN yang masih menyisakan berbagai persoalan maka perlu dilakukan penguatan di berbagai aspek mulai dari internasilisasi nilai-nilai dasar ASN, penguatan peran lembaga, serta koordinasi antar lembaga yang berkaitan dengan penanganan netralitas ASN. Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu:
1. Penguatan internalisasi nilai-nilai dasar ASN, termasuk juga kode etik dan kode perilaku ASN, mulai dari calon ASN hingga ASN senior.

2. Melakukan integrasi sistem pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran netralitas ASN agar lebih terkoordinasi antar lembaga.

3. Pengutan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas dalam pengawasan dan penindakan netralitas ASN, yang meliputi inspektorat dan mengoptimalkan peran Majelis Kode Etik (MKE), Bawaslu (untuk kasus yang berkaitan dengan Pemilu/Pilkada) serta KASN sebagai lembaga yang bertugas menjaga merit system birokrasi.

4. Mengoptimalkan peran pihak-pihak di luar organisasi pemerintah untuk terlibat dalam pengawasan netralitas ASN
Penulis mengajukan saran agar sebaiknya yang memiliki kewenangan untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN bukan lagi pejabat politik yaitu Bupati/Walikota, namun pejabat karir tertinggi di daerah yaitu Sekretaris Daerah dengan pertimbangan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Hal ini dimaksudkan agar pejabat politik tidak lagi melakukan intervensi terhadap kebijakan kepegawaian.

Selain itu, lembaga yang melaporkan pelanggaran adalah unsur pengawas pemilu atau unsur pengawas di kantor/lembaga/dinas/kabupaten/kota atau instansi masing-masing. Lembaga yang menentukan dan menetapkan jenis pelanggaran adalah BKD, Inspektorat dan BKN. Sedangkan yang memberikan sanksi kepada ASN berdasarkan rekomendasi adalah Bupati/Walikota atau Pejabat Bupati/Pejabat Walikota.Semoga..

Pos terkait